LOGO HUT TNI KE 80

Di tepi utara Pulau Jawa, pada abad ke-16, berdiri sebuah kerajaan kecil yang namanya menggema hingga ke negeri-negeri jauh: Jepara. Dari sinilah muncul seorang wanita luar biasa, yang keberaniannya dicatat bukan hanya oleh rakyat Nusantara, tetapi juga oleh bangsa penjajah dari Eropa. Mereka menyebutnya:
Rainha de Japara, senhora poderosa e rica, de kranige Dame—Ratu Jepara, wanita kaya dan berkuasa, perempuan pemberani.
Dialah Ratu Kalinyamat, yang lahir sebagai Retna Kencana, putri dari Sultan Trenggana, penguasa Demak yang agung.
Retna Kencana tumbuh di dalam istana yang penuh intrik dan persaingan kekuasaan. Sejak kecil, ia dididik dalam ilmu pemerintahan dan agama. Pada masa remajanya, ia dinikahkan dengan seorang bangsawan bernama Pangeran Kalinyamat, seorang pria berjiwa pengembara yang disebut-sebut berasal dari Aceh, namun juga diyakini pernah tinggal di Tiongkok dan menjadi anak angkat seorang menteri Tionghoa bernama Tjie Hwio Gwan.
Pangeran Kalinyamat, atau dikenal juga sebagai Pangeran Hadiri, membangun sebuah wilayah baru di pesisir utara Jawa yang ia beri nama Kalinyamat, di mana ia memerintah bersama Retna Kencana. Daerah ini kelak berkembang menjadi pusat kerajinan dan perdagangan yang maju, terkenal akan seni ukir yang diajarkan oleh sang patih Sungging Badar Duwung, ayah angkat Pangeran Hadiri.
Namun, kebahagiaan mereka tak bertahan lama. Awan gelap politik mulai menggantung di langit Demak.
Tahun 1549 adalah tahun berdarah. Sunan Prawata, kakak Retna Kencana, terbunuh oleh utusan Arya Penangsang, penguasa Jipang yang haus kekuasaan. Ratu Kalinyamat dan suaminya pergi ke Kudus, menuntut keadilan kepada Sunan Kudus, sang wali yang malah membela Arya Penangsang.
Di tengah perjalanan pulang, pasangan itu disergap oleh prajurit Jipang. Dalam pertempuran tragis, Pangeran Kalinyamat gugur. Konon, tubuhnya yang sekarat merambat di tanah hingga wafat di desa yang kini dikenal sebagai Prambatan.
Retna Kencana, yang kehilangan suami sekaligus kekuatan politiknya, tidak menyerah. Ia menelusuri sungai dan hutan, membawa jenazah suaminya dengan air mata dan darah. Sungai yang dilalui berwarna ungu, disebut Kaliwungu. Di desa Mayong, ia berjalan terpincang karena kelelahan. Di Purwogondo, jenazah mulai mengeluarkan bau. Sampai akhirnya ia tiba di Mantingan, tempat ia memakamkan suaminya. Sejak saat itu, dunia mengenalnya sebagai Ratu Kalinyamat—wanita yang tidak sekadar berduka, tetapi bersumpah untuk membalas dendam.
Ia bertapa di atas Batu Gilang, telanjang, bersumpah tak akan mengenakan pakaian sebelum kepala Arya Penangsang menjadi keset kakinya. Sebuah tamsil yang melambangkan hidup prihatin dan tekad pembalasan.
Setelah Arya Penangsang tewas di tangan Jaka Tingkir (Hadiwijaya) dengan bantuan Kyai Seto dan Danang Sutawijaya, Ratu Kalinyamat kembali ke Jepara dan memimpin sebagai penguasa. Namun ambisinya kini lebih besar: mengusir Portugis dari tanah Melayu.
Tahun 1550, ia mengirim 4.000 prajurit Jepara dalam 40 kapal untuk membantu Sultan Johor membebaskan Malaka dari Portugis. Meskipun pasukan Jepara bertahan lebih lama dari sekutu Melayunya, mereka akhirnya mundur setelah kehilangan lebih dari 2.000 prajurit.
Namun Ratu Kalinyamat tidak menyerah.
Tahun 1565, ia mengirim bantuan ke Ambon, membantu orang Hitu melawan penjajah Portugis dan kelompok Hative. Ia dikenal sebagai sekutu yang dapat diandalkan oleh kerajaan-kerajaan Islam di kepulauan timur.
Tahun 1573, ia mengirim 300 kapal dan 15.000 prajurit ke Malaka. Serangan ini dikenal sebagai ekspedisi laut terbesar dari Jawa pada abad itu. Meskipun gagal, keberanian pasukan Jepara mengguncang Portugis. Kapal terbakar, banyak prajurit gugur, namun semangat perlawanan tetap menyala. Dalam kekalahan sekalipun, Ratu Kalinyamat menunjukkan bahwa wanita bukan hanya pemimpin domestik, tetapi juga jenderal perang yang disegani.
Tak memiliki anak kandung, Ratu Kalinyamat membesarkan para bangsawan muda yang kelak menentukan arah sejarah Nusantara:
Pangeran Timur Rangga Jumena, adiknya, menjadi Bupati Madiun.
Arya Pangiri, keponakannya, sempat menjadi Raja Pajang sebelum dikalahkan oleh Pangeran Benawa dan Sutawijaya dari Mataram.
Pangeran Arya Jepara, sepupunya, nyaris merebut takhta Banten sebelum pasukannya kalah dan Jepara diserbu oleh Mataram.
Meskipun ketiganya tidak berhasil menandingi kejayaan sang Ratu, mereka adalah bukti bahwa Ratu Kalinyamat telah menjadi ibu dan guru bagi generasi penerus bangsawan Jawa.
Ratu Kalinyamat wafat sekitar tahun 1579, dimakamkan di Mantingan, Jepara, di samping suaminya tercinta. Namun semangat dan keteladanannya terus hidup. Ia adalah wanita yang tak gentar melawan tiran dalam negeri dan penjajah asing. Ia adalah Ratu yang memimpin dengan keberanian, kebijaksanaan, dan cinta yang mendalam pada bangsanya.
Tanggal 10 November 2023, Pemerintah Republik Indonesia akhirnya mengakui jasa-jasanya. Presiden Joko Widodo menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Ratu Kalinyamat. Sebuah pengakuan yang terlambat, tetapi tidak pernah sia-sia.
Kini, nama Kalinyamat dikenang dalam banyak bentuk: jalan, sekolah, institusi, dan sejarah. Namun lebih dari sekadar nama, warisan Ratu Kalinyamat hidup dalam semangat perlawanan, keberanian perempuan, dan keteguhan hati pemimpin sejati.
Dalam deru ombak pantai Jepara, dalam ukiran kayu halus buatan tangan-tangan pengrajin, dan dalam setiap kisah perjuangan yang diwariskan dari mulut ke mulut, Ratu Kalinyamat tetap hidup.
Seorang Ratu. Seorang pejuang. Singa Betina dari Jepara.
Komentar
Posting Komentar