ERGONOMI

PERAN PRINSIP ERGONOMI DALAM PENGANGKUTAN KAYU
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliyah
ERGONOMI










Disusun Oleh :
SAYF IQBAL MAHATIR AHMAD
9023113062


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM  NAHDLATUL ULAMA (UNISNU)
2015/2016










I. PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Kenyataan bahwa pekerjaan dan kegiatan di kehutanan merupakan hal yang berat tidak dapat dipungkiri lagi akan sangat rentan terhadap kecelakaan kerja, terlebih  lagi bagi para tenaga kerja yang menggeluti sector ini yang hampir selalu dikondisikan ataupun berada pada kondisi yang menempatkan dirinya pada situasi yang tidak nyaman, berhadapan dengan bahaya dengan beban dan jenis pekerjaan yang berat dan sangat menguras keringat ditambah lagi lingkungan kerja alami yang  tidak dirancang untuk kenyamanan manusia membuat sector ini sangat memerlukan sebuah kaidah atau aturan mengenai tata cara dalam melakukan sebuah pekerjaan yang bertujuan untuk memberikan kenyamanan dan keselamatan bagi para pekerja di sector kehutanan, yang pada akhirnya diharapkan dapat berkerja secara efisien dan pada akhirnya akan meningkatkan produktifitas dari pekerjaannya.
Berdasarkan fakta tersebut ilmu pengetahuan yang dapat mengakomodir antara tuntutan kegiatan pekerjaan di sector kehutanan dengan kenyamanan dan keselamatan para pekerja di sector kehutananadalah ilmu ergonomic. Secara harapiah ergonomic adalah ilmu mengenai tata cara dalam bekerja.
Didalam pekerjaan kegiatan sector kehutanan sendiri aplikasi dari ilmu ergonomic dimulai dari mulai kegiatan awal kehutanan yaitu berupa perencanaan areal kerja, perencanaan areal kerja, pembukaan wilayah hutan, inventarisari hutan, penebangan atau pemanenan hingga penanaman tegakan baru.
Didalam makalah ini sendiri konsentrasi utama pembahasan adalah pada penerapan prinsip ergonomic pada pengangkutan kayu.  Pengangkutan kayu merupakan salah satu bagian dari serangkaian kegiatan pemanenan hutan, dimana kayu – kayu yang sudah berbentuk sortimen ( log ) yang dikumpulkan baik di tempat pengumpulan kayu maupun di tempat penimbunan akhir kayu akan di bawa menuju tempat penimbunan kayu ataupun langsung kepada konsumen. Pengangkutan kayu sendiri dapat dilakukan secara manual, semi mekanis, mekanis dan full mekanis.
Kegiatan pengangkutan kayu merupakan kegiatan yang berat dan banyak mengandung bahaya karena keterlibatan langsung tenaga kerja ( manusia ) didalam kegiatanya baik berupa sebagai tenaga pemindah ( transporter ) kayu ataupun sebagai pengawas ( controller ) kegiatan pengangkutan itu sendiri. Bahkan dalam praktik pengangkutan kayu secara semi mekanis tenaga kerja juga ada yang berperan sebagai pengoprasi ( operator ) dari alat berat yang membantu kegiatan pengangkutan kayu ini. Sebagai contoh pengoperasian alat angkut kereta api pada system pengangkutan pemanenan di hutan rawa gambut.
Merupakan hal yang lumrah bagi tenaga kerja manusia yang memiliki keterbatasan dalam hal daya tahan fisik dan mental ( psikologis ) yang merupakan kodratnya sebagai manusia biasa. Berdasarkan hal tersebut penerapan prinsip ergonomic dengan baik dan benar merupakan hal yang sangat dibutuhkan bagi pekerja disektor kehutanan terkhusus didalam kegiatan pengangkutan kayu yang sudah terbukti menguras tenaga fisik dan psikis tenaga kerja manusianya. Sehingga pada akhirnya prinsip ergonomic ini akan memberikan tingkat kenyamanan dan keselamatan tenaga kerja manusia disektor kehutanan ke tingkat yang lebih baik lagi.

1.2  Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui dan memahami aplikasi ( praktik ) prinsip ilmu ergonomic dalam bidang kehutanan khususnya pengangkutan kayu.










II. PEMBAHASAN

3.1  Ergonomi dan Ruang Lingkupnya
3.1.1 Pengertian Ergonomi
Ergonomi berasal dari kata ergon yang berarti kerja dan nomos yang berarti aturan. Dengan  demikian secara harpiah ergonomic adalah ilmu aturan atau tatacara dala bekerja. Dalam arti yang lebih luas menurut Mikael ( 1999 ), ergonomic ilmu yang mempelajari manusia dalam hubungan dengan pekerjaan, dengan segala aspek dan ruang lingkupnya. Suatu bidang studi yang mencari atau  menangani desain peralatan dan tugas-tugas  yang cocok dengan kapabilitas manusia dan limitnya. Faktor kenyamanan kerja, ergonomi harus bisa memahami seluruh keadaan manusia, baik dari segi anatomi, fisiologi, psikologi, engineering, manajemen, dan desain/perancangan untuk membuat desain tugas yang berguna, ramah penggunaan di segala tempat dan bidang. Bahwa seorang pekerja yang mengoperasikan banyak peralatan, namun dapat dijangkau dengan mudah.
Didalam lingkup pembahasannya ilmu ergonomic membahas seputar aspek-aspek yang d apat mendukung pekerjan manusia itu sendiri seperti, teknik, fisik, pengalaman psikis, anatomi utamanya yang berhubungan dengan kekuatan dan gerakan otot dan persendiaan, anthropometri, sosiologi, fisiologi, terutama yang berhubungan dengan temperatur tubuh dan desain dari alat atau stasiun alat.
Argumentasi utama mengapa aplikasi prinsip ergonomic itu penting dalam mendukung sebuah pekerjaan karena, Pekerjaan yg tidak ergonomis menyebabkan ketidak nyamanan, biaya tinggi,penurunan performa,efisiensi dan daya kerja juga kecelakaan.
3.1.2 Konsep dan Prinsip Dasar Penerapan Ilmu Ergonomi
Didalam ilmu ergonomic, konsep dasar yang pengaplikasian kegiatannya meliputi dimana, kapan, oleh siapa dan bagaimana teori – teori dari ilmu ergonomic itu diaplikasikan. Karena, dengan penerapan teori – teori dari ilmu ergonomic itu secara tepat dan benar akan memberikan kepada keuntungan kepada pekerja antara lain sebagai berikut :

•         Lebih baik dalam mengerjakan tugasnya
•         Lebih sehat
•         Meningkatkan kepuasan kerja
•         Lebih produktif
Tujuan dari ergonomi adalah untuk memaksimalkan perancangan terhadap produk, alat dan ruangan dalam kaitannya dengan anthropometri secara integral, sehingga mendapatkan suatu pengetahuan yang utuh dalam menghadapi permasalahan-permasalahan interaksi manusia dengan technology dan produk-produknya, sehingga dimungkinkan rancangan sistem manusia ( technology ) dapat menjadi optimal.Terdapat beberapa aspek dari ergonomis yang harus dipertimbangkan, antara lain adalah:
1.      Sikap dan posisi kerja.Beberapa jenis pekerjaan akan memerlukan sikap dan posisi tertentu yang terkadang-kadang cenderung tidak mengenakkan dan kadang-kadang juga harus berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Hal ini menyebabkan pekerja cepat lelah, membuat banyak kesalahan atau menderita cacat tubuh. Untuk menghindari hal tersebut di atas terdapat beberapa pertimbangan ergonomis, seperti:
• Mengurangi keharusan operator untuk bekerja dengan sikap dan posisi membungkuk dengan frekuensi yang sering atau jangka waktu lama.
• Operator seharusnya menggunakan jarak jangkauan normal.
• Operator tidak seharusnya duduk atau berdiri pada saat bekerja untuk waktu yang lama dengan kepala, leher, dada atau kaki berada dalam sikap atau posisi miring.
• Operator tidak seharusnya bekerja dalam frekuensi atau periode waktu yang lama dengan tangan atau lengan berada dalam posisi di atas level siku yang normal.

3.2  Penerapan Prinsip Ergonomi pada Kegiatan Pengangkutan Kayu
Siregar, M (1980) pengangkutan adalah pemindahan barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan yang di dalamnya terdapat hubungan dalam hal:
a.       Ada muatan yang diangkut
b.      Tersedianya kendaraan sebagai alat angkut
c.       Ada jalan, tempat yang akan dilalui alat angkut
Pengangkutan kayu merupakan kegiatan memindahkan log/kayu dari tempat tebangan sampai tujuan akhir yaitu TPK atau pabrik.Kegiatan pengangkutan ini disebut dengan istilah Major Transportation. Menurut Elias (1988) bahwa makin besar kayu maka akan semakin pendek waktu penanganannya per satuan volume dan makin pendek waktu angkutan. Kayu akan turun kualitasnya jika dibiarkan terlalu lama di dalam hutan.
Sebagaimana yang sudah dibahas sebelumnya pekerjaan di dunia kehutanan merupakan suatu jenis pekerjaan yang sangat berat dan sangat rentan terhadap kecelakaan kerja yang fatal, karena selain melibatkan bahan baku (input) berupa barang berat dengan produk (output) yang juga kebanyakan barang berat juga melibatkan serangkaian mesin berat yang juga berguna untuk membantu pekerja di sector kehutanan. Fakta tersebut mendukung perlunya penerapan ilmu tentang aturan kerja yang baik bagi pekerja (ergonomic) yang diterapkan dengan prinsip fisikal dan prinsip kognitif.
Pengangkutan kayu merupakan salah satu bagian dari serangkaian kegiatan pemanenan hutan yang terdiri dari penebangan, pembagian batang, penyaradan, pemuatan dan pengangkutan kayu, dimana kayu – kayu yang sudah berbentuk sortimen (log) yang dikumpulkan baik di tempat pengumpulan kayu maupun di tempat penimbunan akhir kayu akan di bawa menuju tempat penimbunan kayu ataupun langsung kepada konsumen. Pengangkutan kayu sendiri dapat dilakukan secara manual, semi mekanis, mekanis dan full mekanis.
Kegiatan pengangkutan kayu (major transportations) merupakan kegiatan yang berat dan banyak mengandung bahaya karena keterlibatan langsung tenaga kerja (manusia) didalam kegiatanya baik berupa sebagai tenaga pemindah (transporter) kayu ataupun sebagai pengawas (controller) kegiatan pengangkutan itu sendiri. Bahkan dalam praktik pengangkutan kayu secara semi mekanis tenaga kerja juga ada yang berperan sebagai pengoprasi (operator) dari alat berat yang membantu kegiatan pengangkutan kayu ini. Sebagai contoh pengoperasian alat angkut kereta api pada system pengangkutan pemanenan di hutan rawa gambut.
Setelah kegiatan penyaradan dan pemuatan, maka dilakukan kegiatan pengangkutan yaitu memindahkan kayu dari TP ke TPK (tempat pengumpulan kayu) biasanya dengan menggunakan truk. Didalam praktik pemanenan hasil hutan kegiatan pengangkutan dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu pengangkutan major yaitu pengangkutan kayu dari TPN dan TPN antara menuju konsumen dan pengangkutan minor yaitu pengangkutan kayu dari tunggul pohon menuju TPN atau TPN antara pengangkutan minor juga sering disebut sebagai kegiatan penyaradan. Dalam system pengangkutan baik itu major maupun minor dapat dilakukan dengan system darat seperti dengan truk, kereta api, system perairan dengan boat, rakit dan pompom dan system udara dengan cable ataupun hallycopter.
Penyaradaan atau pengangkutan minor dilakukan setelah  pembagian batang selesai, maka dilakukan penyaradan yang dilakukan secara manual dengan tenaga manusia.  Pekerja penyaradan melakukan pemindahan batang tanpa menggunakan alat pelindung diri (APD). Batang tersebut dipindahkan dengan cara dipikul secara perorangan dengan meletakkan kayu di atas bahu pada batang dengan ukuran kecil (sortimen A 1) sampai dengan sedang (sortimen A II) dengan diameter dan panjang tertentu yang masih dapat dijangkau untuk dipikul.  Batang yang berukuran besar (A III) dipikul secara bersama-sama oleh dua orang atau lebih menggunakan alat bantu berupa batang berukuran tertentu dan kawat yang dilingkarkan pada batang, disebut dengan istilah “ender”. Batang yang disarad biasanya dipindahkan dari areal tebang ke tempat pengumpulan (TP), tetapi batang yang ringan biasanya langsung dimuat ke atas truk.
International Labour Organization (2002) menyebutkan jika memungkinkan penyaradan secara manual harus menghindarkan pemindahan kayu dengan menggunakan tangan dan jika mengguanakan tangan, jarak harus dijaga sependek mungkin dengan menggunakan suatu arah rebah yang tepat dan jaringan jalan sarad yang cukup dekat, penggunaan perkakas bantu seperti kait, penjepit atau sapi-sapi. APD harus disediakan dan dikenakan sesuai dengan ketentuan dan Jika tidak ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan dan hukum nasional, berat kayu yang harus ditangani dengan tangan oleh satu pekerja tidak boleh melebihi suatu tingkatan yang mungkin membahayakan keselamatan atau kesehatan. Selain itu beban kerja yang melebihi kapasitasnya dapat mempengaruhi kesehatan pekerja (Yovi  et al, 2006).
Dalam melakukan penyaradan manual perlu memperhatikan teknik penyaradan yang benar. Para pekerja harus menjaga punggung mereka dalam keadaan lurus dan menggunakan otot kaki mereka saat pengangkatan. Beban harus dijaga tetap dekat dengan tubuh dan dengan keseimbangan yang baik. Para pekerja harus memilih jalan mereka hati-hati dan menghindari rintangan (ILO, 2002). Sedangkan Pusat Kesehatan Kerja (2009) menyebutkan bahwa mengangkat beban merupakan pekerjaan yang cukup berat, terutama teknik yang dilakukan tidak benar dapat berakibat cidera pada punggung. Pencegahan dapat dilakukan: beban yang diangkat tidak terlalu berat, tidak berdiri terlalu jauh dari beban, tidak mengangkat beban dengan posisi membungkuk tapi hendaknya menggunakan tungkai bawah sambil berjongkok, dan hendaknya menggunakan pakaian yang tidak terlalu ketat sehingga pergerakan tidak terhambat.
Secara spesifik aplikasi dari prisnip ergonomic dalam pengangkutan kayu dijabarkan sebagai berikut :
A.    Prinsip Fisikal
Prinsip fisikal adalah suatu prinsip yang berkaitan dengan suatu keadaan atau kondisi kerja yang dapat mendukung jasmani pekerja agar dapat bekerja dengan nyaman dan efektif sehingga meminimalisir pengeluaran tenaga secara berlebihan.
Contohnya :
• Meletakan dan memasangrantai penyarad kayu (log) di pangkal batang atau di ujung batang kayu (log) sehingga saat ditarik menjadi lebih stabil dan mudah dijangkau tangan untuk ditarik.
• Memilih alat angkut seperti truk yang tinggi bak truk dari tanah tidak lebih tinggi dari pekerja pengangkut kayu atau sekitar 130 cm. Sehingga pekerja pengangkut kayu dapat memasukkan kayu dengan mengeluarkan tenaga yang tidak terlalu besar akibat harus menjinjit dan mengangkat kayu (log) hingga melewati kepalanya.
• Bekerja dengan postur yang sesuai, artinya kemapuan pekerja dalam mengangkut kayu harus disesuaikan dengan batas kemapuan daya dukung fisiknya.
• Mengurangi pengeluaran tenaga yang berlebihan, seperti menyarad kayu (log) diatas rel dengan alat kuda – kuda atau mengangkut kayu dengan system mekanis dengan mengunakan cable atau hellykopter.
• Meminimalkan kepenatan dan keletihan yaitu beristirahat sesuai porsi yang ideal antara kemampuan kerja dengan tuntutan kerja.
• Mengatur posisi tubuh atau kuda – kuda pada saat akan mengangkat kayu (log),  sehingga akan membagi tekanan beban ke beberapa bagian tubuh secara merata.
• Menciptakan lingkungan kerja yang nyaman seperti meminimalisir menggunakan mesin berbahan diesel sehingga akan mengurangi kebisingan, membuat aliran air sehingga akan mengurangi genangan air dan melakukan sebuah treatment yang dapat meminimalisir ganguan serangga dan hewan pengganggu seperti nyamuk dan tawon dengan cara pengasapan.

B.     Prinsip Kognitif
Prinsip kognitif adalah suatu prinsip yang bertujuan untuk memberikan petunjuk atau arahan dalam bekerja yang ditujukan ke dalam alam akal pemikiran pekerja.
Contohnya ;
• Perusahaan menetapkan standard baku dan umum bagi semua pekerja sesuai dengan kemampuan hasil analisa antropometri pekerja.
• Dalam kegiatan pra pengangkutan dan penyaradan dapat melakukan pembahasan kerja ( briefing ) dimana asisten menejer atau mandor memaparkan penjelasan berdasarkan bahasa sederhana.
•         Pada kegiatan pengangkutan dapat dilakukan penulisan data tentang kayu ( log ) di ujung pangkal pohon mencakup informasi jenis kayu, diameter kayu, asal petak dll. Sehingga pekerja pengangkutan kayu dapat dengan mudah menggolongkan kayu ketika dimuat ke alat pengangkutan.




Contoh Kasus Penerapan Ergonomi dalam Pengankutan Kayu
Pengangkutan kayu di HPH PT Kurnia Musi Plywood Industrial Co. Ltd di tepi Sungai Merang
1.      Sistem Pengangkutan Kayu
Pengangkutan kayu (major transportation) di hutan rawa dimulai dari memuat kayu di betou (Tpn) sampai ke log pond (TPK). Kegiatan pengangkutan di areal HPH PT. kurnia Musi Plywood Industrial Co. Ltd. meliputi pembuatan jalan rel dan pengangkutan kayu dari betou ke logpond.
a. Pembuatan jalan rel
Hutan rawa dengan kondisi areal yang tanahnya bergambut dan basah, serta memilki topografi yang datar (0-8 %) sehingga jenis jalan yang paling sesuai adalah jaringan jalan rel. Jalan rel ini terdiri dari susunan kayu dan rel besi sebagi tempat meluncurnya loko dan lori.
Pembuatan jalan rel ini dilakukan secara terus-menerus sepanjang tahun dengan cara memindahkan rel besi dari satu areal tebangan ke areal tebang yang lain. Pekerjaan pembuatan jalan rel dimulai dengan pembuatan rencana jaringan jalan di atas peta, kemudian rintisan sesuai dengan rnecana di peta, pembuatan galkang dan pemasangan rel. Pembuatan jalan rel ini dilakukan dengan system borongan.
Panjang jalan rel yang telah direalisasikan sejak beroperasi sampai tahun 1997 sepanjang 373,60 km. Adapun realisasi pembutan jalan rel tahun 1996/1997 adalah 20 km. Jarak rata-rata pengangkutan kayu dengan loko dari betou (Tpn) ke logpond pada saat penelitian ini adalah 16,375 km.Pemeliharaan dan perbaikan jalan rel dilakukan oleh regu pekerja harian. Pemeliharaan jalan angkutan ini dilakukan oleh regu pekerja setiap hari yang terdiri dari 2 regu dengan anggota empat orang. Tugas dari pekerja ini adalah memperbaiki jalan rel yang rusak yakni galangan yang rusak (lapuk), paku rel yang lepas, plat sambungan rel yang lepas, membersihkan jalan rel dari semak dan membersihkan jika pohon yang tumbang di atas rel.

b. Pengangkutan dengan loko dan lori
Pengangkutan kayu dari betou sampai ke logpond di areal HPH PT Kurnia Musi Plywood Industrial Co. Ltd di tepi Sungai Merang dilakukan melalui jalan darat dengan menggunakan rangkaian lori dengan tenaga loko bermesin diesel merk Yanmar TS 230 R buatan Jepang yang dibeli tahun 1995. Mesin tipe ini mempunyai tenaga dengan daya kerja minimum 18 DK/2200 rpm dan maksimum 23 DK/2200 rpm denganisi langkah 1132 cc.
Pengangkutan dilakukan untuk mengangkut kayu yang berada di betou ke log pond. Jarak angkut rata-rata yang ditempuh dari log pond ke betou pada sat penelitian adalah 16,375 km. Satu buah loko mempunyai 15 set lori yang dikerjakan oleh satu regu pekerja yang berjumlah 4-6 orang dan satu orang menjadi operator dengan menggunakan sistem upah borongan.

2.      Elemen Kerja Pengangkutan
Tahapan kegiatan pengangkutan kayu dengan menggunakan lokotraksi meliputi :
1.      Berjalan kosong, merupakan tahap awal dari kegiatan pengangkutan dimana loko menarik dan mendorong lori ( 8 set lori ditarik dan 7 set lori didorong) menuju betou. Tahapan kegiatan ini meliputi : Persiapan sebelum menuju betou, yakni memansakan mesin dan menunggu loko depan.Loko berjalan kosong, yakni loko bergerak meninggalkan log pond sampai loko berhenti di betou dan siap dimuati.
2.      Memuat, merupakan kegiatan menaikkan kayu ke ats lori dengan menggunakan locak. Tahapan kegiatan memuat ini meliputi :
-          Mengatur posisi lori di betou
-          Membongkar peralatan muat bongkar (locak, tongkat pengungkit, tongkattongkat untuk memantapkan kayu yang dimuat) yang berada di atas lori di betou.
-          Memasang landasan sebagai tempat menggulingkan kayu dari betou ke atas lori.
-          Memasang tali pengikat antara lori dengan jari-jari jalan rel agar lori stabil pada saat pemuatan dilakukan.
-          Menggulingkan kayu dari atas betou ke atas lori dengan menggunakan locak dan pengungkit.
-          Mengatur posisi kayu di atas lori, mengikat kayu di atas lori dan memasang pengganjal agar kayu tidak jatuh dan stabil pada saat lori berjalan.
3.      Mengangkut, kegiatan mengangkut kayu merupakan tahap dimana lori yang telah dimuati kayu mulai berangkat dari betou menuju log pond. Tahapan kegiatan ini meliputi:
-          Persiapan pengangkutan, kegiatannya yakni mengambil air yang digunakan untuk pendingainan mesin dan air yang digunakan untuk membasahi roda lori selama perjalan.
-          Berjalan bermuatan, yakni loko berjalan meninggalkan betou dengaan menarik dan mendorong lori yang telah bermuatan.Pada saat perjalanan bermuatan ini dilakukan penaburan pasir putih yang berfungsi untuk meningkatkan daya traksi roda lori dengan rel dan pemasngan kulit-kulit kayu pada sambungan rel yang berfungsi untuk mengurangi kemungkinan roda loko dan lori yang keluar dari rel akibat sambungan rel tidak rata.
4.      Membongkar, merupakan kegiatan menurunkan kayu dari atas lori ke logpond. Kegiatan ini dimulai dengan melepas tali pengikat.

3. Waktu Kerja dan Produktivitas Pengangkutan Kayu
Pengukuran waktu kerja (time study) bertujuan untuk menentukan waktu yang diperlukan oleh pekerja normal menyelesaikan pekerjaan dasar dalam menentukan produktivitas kerja.
Waktu kerja pengangkutan kayu dengan menggunakan lori yang ditarik/didorong loko adalah waktu yang dibutuhkan untuk mengangkut kayu dari betou ke logpond. Pengukuran waktu kerja pengangkutan, yakni loko dan lori berjalan kosong menuju betou, memuat, berjalan bermuatan menuju logpond dan membongkar muatan.
Waktu kerja kegiatan pengangkutan dengan menggunakan lokotraksi di areal HPH PT Kurnia Musi Plywood Industrial Co. Ltd adalah 608,990 menit dengan volume angkut rata-rata 42,626 m3 dan jarak angkut rata-rata 16,375 km. Waktu kerja rata-rata efektif selama kegiatan pengangkutan ini adalah 528,255 menit. Waktu hilang yang begitu besar mencapai 81,845 menit mengakibatkan waktu yang dibutuhkan selama pengangkutan menjadi lebih lama.
Waktu hilang yang dapat dihindarkan pada kegiatan pengangkutan pada kegiatan pengangkutan ini adalah roda loko dan lori keluar dari jalan rel sebesar 50,365 menit (8,27 %), disebabkan kondisi jalan angkutan (jalan rel) yang rusak. Besarnya waktu hilang ini disebabkan roda lori atau loko keluar rel sehingga pekerja membutuhkan waktu untuk mengembalikan roda loko atau lori diakibatkan oleh kondisi jalan rel yang dilalui.  Kondisi jalan rel yang rusak, menyebabkan seringnya roda loko dan lori keluar jalur rel.





















III. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Ilmu ergonomi membahas seputar aspek-aspek yang dapat mendukung pekerjan manusia itu sendiri seperti, teknik, fisik, pengalaman psikis, anatomi utamanya yang berhubungan dengan kekuatan dan gerakan otot dan persendiaan, anthropometri, sosiologi, fisiologi, terutama yang berhubungan dengan temperatur tubuh dan desain dari alat atau stasiun alat.
Pengangkutan adalah pemindahan barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan yang di dalamnya terdapat hubungan dalam hal:
a.       Ada muatan yang diangkut
b.      Tersedianya kendaraan sebagai alat angkut
c.       Ada jalan, tempat yang akan dilalui alat angkut
Pengangkutan kayu merupakan salah satu bagian dari serangkaian kegiatan pemanenan hutan yang terdiri dari penebangan, pembagian batang, penyaradan, pemuatan dan pengangkutan kayu, dimana kayu – kayu yang sudah berbentuk sortimen ( log ) yang dikumpulkan baik di tempat pengumpulan kayu maupun di tempat penimbunan akhir kayu akan di bawa menuju tempat penimbunan kayu ataupun langsung kepada konsumen. Pengangkutan kayu sendiri dapat dilakukan secara manual, semi mekanis, mekanis dan full mekanis.Penerapan ergonomic dalam pengankutan kayu dapat terlihat dari cara pengangkutan kayu dengan cara tersebut.Dimana dalam hal ini menggunakan prinsip fisikal dan kognitif.

Saran
Dalam pengangkutan kayu memang sangat diperlukan penerapan ilmu ergonomic karena akan mempermudah pekerjaan dan menguragi rasa keletihan dan kecelakaan.Oleh karenanya perlu pengkajian lebih lanjut mengenai cara yang bagaimana yang paling tepat digunakan dalam pengangkutan kayu.

DAFTAR PUSTAKA

Amrullah.2009.Modus Pengangkutan Kayu.http://amrullha.wordpress.com/modus-pengangkutan-kayu/. Diakses pada minggu,03 November 2013.
Ardaliyus.2012.Pengangkutan            Kayu   Rakyat. http://ardaliyus.blogspot.com/2012/08/pengangkutan-kayu-rakyat.html.Diakses          pada minggu,03 November 2013.
Wahidi Niam, 2009. Analisis aspek kompetensi penerepan keselamatan dan kesehatan Kerja dalam kegiatan pemanenan kayu di KPH Nganjuk Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Skripsi. Fahutan IPB. Bogor.
Yanto.2013.Kegiatan Pemanenan Hasil Hutan Kayu. http://yanto12345.blogspot.com/2013/02/kegiatan-pemanenan-hasil-huitan-kayu.html. Diakses pada minggu,03 November 2013.

Kreatif dan Inovatif

<iframe src="https://drive.google.com/file/d/0BzBLBwRh7wxCM3pyUE04V3BCNEU/preview" width="640" height="480"></iframe>

FUNGSI DAN PERAN LEMBAGA KELUARGA DALAM MENGELOLA KERAGAMAN SOSIAL BUDAYA

FUNGSI DAN PERAN LEMBAGA KELUARGA DALAM MENGELOLA KERAGAMAN SOSIAL BUDAYA


 Fungsi dan Peran Lembaga Keluarga
Keluarga merupakan kesatuan terkecil dan sekaligus paling mendasar dalam kehidupan masyarakat yang terbentuk melalui proses perkawinan. Dalam sebuah keluarga proses pendidikan pertama dan utama berada pada lembaga ini. Keluarga memiliki peran strategis dalam melakukan pendidikan keberagaman. Keluarga yang mampu melaksanakan peran pendidikan dengan baik, akan menghasilkan anak-anak yang berkualitas.

Pengakuan atau kesadaran perbedaan pertama kali dialami anak-anak di dalam keluarga. Dalam sebuah keluarga biasanya memiliki berbagai perbedaan, antara lain perbedaan fisik, psikis, dan sosial. Kondisi berbeda tersebut akan dialami anak ketika berada di lingkungan masyarakat. Keluarga dapat memberikan kesadaran kepada seluruh anggota, bahwa perbedaan fisik merupakan pemberian Tuhan Yang Maha Esa yang harus selalu dihargai dan dihormati.

Fungsi dan peran lembaga keluarga :
             1.      Fungsi religius
-          Keluarga berkewajiban mendidik dan mengajak anak untuk diperkenalkan kehidupan beragama dengan melaksanakan ibadah sesuai aturan agama masing masing.
             2.      Fungsi sosialisasi
-       keluarga melatih dan medidik anak di lingkungan keluarga agar kelak dapat diterima menjadi anggota masyarakat , yaitu anak diperkenalkan tentang nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat.

-          Keluarga sebagai media sosialisasi dan kelompok primer yang pertama bagi seorang anak dan dari sanalah perkembangan kepribadian dimulai. Pada saat anak sudah cukup umur untuk memasuki kelompok atau media sosialisasi selain keluarga, pondasi dasar kepribadiannya sudah tertanam secara kuat dan terarah dengan baik.
              3.      Fungsi edukatif
-          Keluarga merupakan tempat berlangsungnya sosialisasi primer bagi anak agar tidak terjadi penyimpangan social. Dalam hal ini, orang tua bertugas mendidik anak yang berkaitan dengan norma-norma social.
              4.      Fungsi ekonomi
-          Keluarga sering disebut sebagai satuan unit ekonomi,karena di era modernisasi setiap anggota berperan mencari nafkah, tidak hanya ayah saja. Keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi anggota keluarganaya. Untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, semua anggota keluarga melakukan kerja sama.
              5.      Fungsi emosional/perasaan
-          Fungsi emosional adalah fungsi keluarga yang berhubungan dengan perasaan/kasih saying.
-          Kebutuhan akan perasaan kasih saying ini juga harus tetap terjalin antara anggota masyarakat supaya terbentuk keluarga yang harmonis di tengah masyarkat yang aman dan tentram.
              6.      Fungsi pengaturan kebutuhan biologis
-          Pranata keluarga mengatur hubungan biologis dengan lawan jenisnya sesuai norma-norma yang telah ditentukan.
               7.      Fungsi reproduksi
-          Fungsi reproduksi artinya fungsi untuk menghasilkan keturunan atau generasi penerus.
-          Dalam pranata keluarga terdapat norma keluarga kecil atau program KB yang diikuti oleh masyarakat kita.
               8.      Fungsi control social
-          Lembaga keluarga harus mampu menjalankan fungsi pengawasan terhadap perilaku seluruh anggota keluarga. Pengawasan ini sangat penting mengingat dalam lembaga keluarga selalu tumbuh permasalahan permasalahan atau dinamika keluarga yang apabila tidak ada kontrol sosial maka dampaknya akan fatal. Orang tua harus mengawasi perilaku dan perkembangan anaknya. Suami dengan istri atau sebaliknya juga harus saling mengontrol, bahkan anak terhadap orang tua juga harus saling mengontrol agar tidak terjadi penyimpangan keluarga dalam kehidupan sehari-hari.
                9.      Fungsi peran keluarga
Di dalam keluarga, seseorang akan mendapat pendidikan awal untuk mengenal lingkungan sosialnya, kemudian berpartisipasi di dalamnya.hal itu dianggap sosialisasi primer untuk mempersiapkan anggota keluarga menjadi anggota masyarakat. Sosialisasi sekunder adalah suatu proses bagi individu untuk mengenal dan memahami lingkungan sosialnya secara lebih luas. Hal ini merupakan awal menjadi anggota masyarakat yang disebut juga sebagai proses internalisasi. Internalisasi adalah dasar untuk memahami sesam anggota masyarakat dan untuk memahami dunia kehidupan sosial sebagai kenyataan sosial yang penuh makna bagi seorang individu.
Peranan keluarga :
1)         Keluarga batih merupakan kelompok kecil yang anggota-anggotanya berinteraksi langsung secara tetap dan berkesinambungan.
2)         Orang tua yang berpandangan maju memiliki motivasi yang kuat dalam mendidik anaknya. Anak diharapkan dapat memiliki status dan peran yang baik di masyarakat.
Fungsi dan peran lembaga keluarga dalam mengelola keragaman social budaya
            a.       Fungsi lembaga keluarga dalam mengelola keragaman suku bangsa
Indonesia merupakan Negara yang memiliki beribu-ribu suku bangsa yang berbeda-beda. Keberagaman suku bangsa ini memiliki pengaruh yang positif dan negative. Pengaruh negativenya adalah jika keragaman suku bangsa tersebut tidak dilandasi dengan rasa saling menghormati maka akan timbul konflik. Untuk menghindari konflik tersebut maka perlu diterapkan fungsi fungsi dalam keluarga terutama fungsi:
1.      Fungsi sosialisasi dan edukatif
-          Keluarga mengajarkan norma-norma dalam masyarakat yang diterapkan oleh suku bangsa kita sendiri agar anak anak mengerti dalam bersosialisasi dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat .
-          Setelah keluarga mengajarkan norma-norma yang berlaku dalam suku bangsa sendiri,keluarga juga mengajarkan nilai-nilai dalam bersosialisasi dengan suku bangsa yang lain. Misalnya dalam hal saling menghormati dan bekerja sama dengan suku lain. Nilai nilai ini diajarkan agar tumbuh rasa persatuan dan kesatuan antar suku bangsa, persatuan dan kesatuan itu perlu ditumbuhkan agar konflik antar suku bangsa bisa dihindari.
Contoh :1.misalkan keluarga dari suku jawa mengajarkan tata krama yang ada di jawa contohnya saat lewat didepan orang yang lebih tua anak diajari untuk membungkukkan badan untuk menghormati orang tersebut.
                      2.misalnya saat orang jawa berbicara dengan orang batak ,orang jawa tersebut harus bisa menyesuaikan dengan orang batak tersebut karena orang batak biasanya logat bicaranya keras sedangkan orang jawa itu logatnya halus.

2.      Fungsi emosional/perasaan
-          Keluarga mengajarkan betapa pentingnya pelajaran tentang emosional/perasaan dan kasih sayang.jika kasih sayang orang tua terhadap anak sudah terjalin dengan baik maka dalam diri anak akan timbul perasaan dan kepercayaaan yang sama dengan orang tuanya.jika dalam diri anak sudah timbul perasaan dan kasih sayang maka anak akan menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat di mana pun anak tersebut berada tanpa mengenal perbedaan suku bangsa.
Contoh : saat ada tetangga yang berasal dari suku lain sedang mengalami musibah keluarga harus mengajarkan pada anak untuk membantu tetangga tersebut walaupun berbeda suku bangsa agar anak tersebut punya rasa iba dan perasaan kasih saying dengan sesama.
3.      Fungsi reproduksi dan pengaturan kebutuhan biologis
-          Keluarga mengajarkan pada anak untuk melakukan hubungan dengan lawan jenis sesuai norma –norma yang berlaku .dalam hal ini keluarga juga harus mengarahkan anak untuk memilih pasangan yang baik agar keturunana yang dihasilkan juga baik, tetapi tidak hanya berpatokan pada suku bangsa sendiri tetapi bisa dengan suku bangsa lain.
Contoh :keluarga member kebebasan pada anak untuk memilih pasangannya tanpa mengenal suku bangsanya asalkan memilih pasangan yang baik .baik dari keturunannya ,agamanya ,dan perilakunya.
            b.      Fungsi lembaga keluarga dalam mengelola keragaman bahasa
Keberagaman suku bangsa menimbulkan keberagaman bahasa. Keberagaman bahasa merupakan kekayaan budaya bangsa Indonesia. Dan juga merupakan warisan dari para nenek moyang yang harus dilestarikan dan patut dibanggakan. Untuk melestarikan keberagaman bahasa perlu diterapkan fungsi dalam keluarga, terutama fungsi :
1.      Fungsi sosialisasi dan edukatif
-          Dalam keluarga biasanya terdapat perbedaan asal daearah orang tua.setiap daerah pasti memiliki perbedaan bahasa .dalam hal ini maka orang tua mengajarkan bahasa yang mereka miliki kepada anak anaknya .bahasa tersebut perlu diajarkan agar anak dapat berhubungan dengan masyarakat sekitar dengan baik sekaligus juga untuk melestarikan bahasa tersebut.
-          Jika anak sudah diajarkan bahasa yang dimiliki orang tuanya maka orang tua perlu juga mengajarkan untuk saling menghormati bahasa bahasa dari daerah lain.rasa saling menghormati ini memiliki manfaat jika kelak anak sudah dewasa dan bekerja di daerah lain ,anak akan bisa beradaptasi dengan lingkungan sekitar dengan baik dan bisa menghargai bahasa dari daerah tersebut.
Contoh :1.misalnya ada orang tua yang berbeda daerah,ibu dari jawa dan ayah dari sunda ,lalu orang tua mengajarkan bahasa yang dimiliki daerahnya masing –masing kepada anaknya agar anaknya ikut untuk melestarikan bahasa dari daerah si orang tua tersebut.
              c.       Fungsi lembaga keluarga dalam mengelola keragaman budaya
Selain keberagaman suku bangsa dan bahasa, Indonesia memiliki banyak keberagaman budaya. Keberagaman budaya yang banyak ini bisa dijadikan kekayaan nasional.
1.      Fungsi sosialisasi dan edukatif
-          Keluarga mengajarkan budaya yang ada di daerah yang mereka tinggali .misalnya tari-tarian,alat musik,dan sebagainya.agar mereka mengerti tentang budaya dari daerahnya.
-          Keluarga mengajarkan kepada anak untuk menghormati budaya dari daerah lain,dengan cara memperkenalkan juga budaya dari daerah lain dengan mengajak anak untuk mengunjungi daerah lain sekaligus melihat pementasan budaya yang ada di daerah tersebut.
     Contoh:orang tua mengajarkan budaya daerahnya dengan memasukkan anak ke sanggar seni atau les ke guru agar anak lebih mendalami budaya yang ada didaerahya.
2.fungsi emosional
            Keluarga harus bisa mempengaruhi anak agar anak mencintai budayanya sendiri dengan cara orang tua ikut mempelajari budaya tersebut agar anak tertarik untuk mengikuti orang tuanya.
            Contoh:orang tua mengiukuti pementasan budaya daerah setempat ,misalnya pementasan tari-tarian,hal ini bertujuan untuk menarik anak agar tertarik untuk mengikuti kegiatan orang tuanya.
d.fungsi lembaga keluarga dalam mengelola keragaman agama
keragaman agama yang ada di Indonesia bisa membawa dampak positif dan negative.untuk mencegah dampak negatifnya kita harus melakukan tindakan tinadakan yang dimulai dari lingkungan keluarga dengan cara menerapkan fungsi-fungsi dalam keluarga terutama fungsi dibawah ini:
1.fungsi religius
            Keluarga memperkenalkan agama pada anak dengan mengajari anak untuk menjalankan kewajiban dari agama yang dianutnya ,seperti ibadah .agar anak tersebut memiliki akhlak yang baik.
Contoh:keluarga yang menganut agama islam mengajarkan anaknya untuk sholat tepat waktu ,mengajarkan puasa,mengajarkan untuk saling berbagi,dll.
2.fungsi sosialisasi
Keluarga mengajarkan pada anaknya untuk saling menghormati antar sesama umat beragama .keluarga juga mengajarkan untuk saling bekerja sama dengan penganut agama lain.
Contoh:  -pada hari jum’at  bagi penganut agama non muslim untuk menghormati umat muslim ,jika ingin berkunjung jangan pada waktu-waktu salat jum’at.
  -pada perayaan hari besar agama lain ,kita yang tidak menganut agama tersebut ikut membantu mempersiapkan acara hari besar .hal ini bertujuan untuk menumbuhkan rasa saling gotong royong.
3.fungsi kontrol social
Keluarga harus mengajarkan norma-norma agama yang dianutnya kepada anaknya agar segala perilakunya tidak menyimpang dari aturan agama.sebaiknya orang tua harus memberi hukuman pada anaknya jika melakukan hal hal yang tidak baik ,hal ini diperlukan agar anak menjadi takut untuk melakukan perbuatan itu lagi.
Contoh:-orang tua mengajarkan untuk melakukan perbuatan perbuatan yang baik menurut agama yang dianutnya ,contohnya member salam bagi yang muslim saat bertemu dengan sesama muslim,mengajarkan untuk berpakaian yang sopan jika bepergian sesuai dengan aturan dalam agama yang dianutnya.
-jika anak ketahuan mencuri orang tua harus member hukuman ada anak tersebut agar anak itu tidak mengulangi perbuatannya.

Filosofi Rumah Jawa

Filosofi Rumah Tradisional Jawa*
Bangunan tradisi atau rumah adat merupakan salah satu wujud budaya yang bersifat konkret. Dalam kontruksinya, setiap bagian/ruang dalam rumah adat sarat dengan nilai dan norma yang berlaku pada masyarakat pemilik kebudayaan tersebut. Begitu juga dengan rumah tradisi Jawa. Konstruksi bangunan yang khas dengan fungsi setiap bagian yang berbeda satu sama lain mengandung unsur filosofis yang yang sarat dengan nilai-nilai religi, kepercayaan, norma dan nilai budaya adat etnis Jawa. Selain itu, rumah tradisi Jawa memiliki makna historis yang perlu dipelihara dan dilestarikan.

Akibat perubahan masyarakat dewasa ini, tradisi-tradisi lama cenderung ditinggalkan. Hal ini terjadi akibat perubahan pola pikir yang didukung oleh perubahan sosial dan lingkungan masyarakat. Begitu pula dengan rumah tradisi yang semakin jarang ditemukan. Di perkotaan pada umumnya, masyarakat lebih nyaman membangun rumah dengan konsep modern atau tinggal di perumahan dan apartemen. Tidak hanya di kota, masyarakat pedesaan pun mulai merubah tempat tinggalnya menjadi bangunan modern.

Perubahan tersebut tentu saja disesuaikan dengan kebutuhan saat ini. Maka tidak mengherankan apabila generasi muda etnis Jawa sendiri tidak mengenal secara mendalam tentang rumah adat Jawa. Selain sulit untuk menemukan rumah tersebut di lingkungan tempat tinggalnya, sedikit sekali sumber informasi yang bisa mereka peroleh. Banyak bangunan bernilai historis berarsitektur Jawa maupun etnis lain yang tidak terpelihara atau bahkan dibongkar karena tidak dapat difungsikan lagi dan diganti dengan gedung/bangunan modern.

Rumah tradisi Jawa masih bisa ditemukan pada Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta. berciri tropis sebagai upaya penyesuaian terhadap kondisi lingkungan yang beriklim tropis. Salah satu bentuk penyesuaian terhadap kondisi tersebut dengan membuat teras depan yang luas, terlindung dari panas matahari oleh atap gantung yang lebar, mengembang ke segala sudut yang terdapat pada atap joglo (Indrani, 2005: 47). Menurut Rahmanu Widayat (2004: 2) Rumah tradisi Jawa yang bentuknya beraneka ragam mempunyai pembagian ruang yang khas yaitu terdiri dari pendopo, pringgitan, dan dalem.

Terjadi penerapan prinsip hirarki dalam pola penataan ruangnya. Setiap ruangan memiliki perbedaan nilai, ruang bagian depan bersifat umum (publik) dan bagian belakang bersifat khusus (pribadi/privat). Uniknya, setiap ruangan dari bagian teras, pendopo sampai bagian belakang (pawon dan pekiwan) tidak hanya memiliki fungsi tetapi juga sarat dengan unsur filosofi hidup etnis Jawa. Unsur religi/kepercayaan terhadap dewa diwujudkan dengan ruang pemujaan terhadap Dewi Sri (Dewi kesuburan dan kebahagiaan rumah tangga) sesuai dengan mata pencaharian masyarakat Jawa (petani-agraris). Ruang tersebut disebut krobongan, yaitu kamar yang selalu kosong, namun lengkap dengan ranjang, kasur, bantal, dan guling dan bisa juga digunakan untuk malam pertama bagi pengantin baru (Widayat, 2004: 7). Krobongan merupakan ruang khusus yang dibuat sebagai penghormatan terhadap Dewi Sri yang dianggap sangat berperan dalam semua sendi kehidupan masyarakat Jawa.

Rumah tradisi Jawa banyak mempengaruhi rumah tradisi lainnya, diantaranya rumah abu (bangunan yang didirikan oleh keluarga semarga dan digunakan sebagai rumah sembahyang dan rumah tinggal untuk menghormati leluhur etnis Cina). Oleh karena itu, struktur rumah abu memiliki banyak persamaan dengan rumah tradisi Jawa dalam berbagai segi.

Tulisan ini akan mengungkap konstruksi rumah tradisi Jawa secara fisik dan meninjaunya dari segi filosofis masyarakat Jawa. Bangunan atau rumah tradisi tidak hanya dibangun sebagai tempat tinggal tetapi juga diharapkan membawa kebahagiaan dan kesejahteraan bagi penghuninya melalui pernggabungan unsur makrokosmos dan mikrokosmos di dalam rumah tersebut. Dengan demikian diharapkan keseimbangan hidup tercapai dan membawa dampak positif bagi penghuninya. Mendalami unsur filosofi dalam rumah tradisi Jawa membuka kemungkinan usaha generasi muda sebagai pewaris kebudayaan di masa yang akan datang untuk memelihara dan melestarikan warisan generasi pendahulunya.

Konstruksi Rumah Tradisi Jawa
Rumah tradisi Jawa mengalami beberapa fase perubahan yang panjang. Salah satunya adalah bangunan rumah Jawa yang terdapat pada relief-relief Candi Borobudur berbentuk rumah panggung (Widayat, 2004: 4).

Teras dan Pendopo
Di bagian depan, rumah tradisi Jawa memiliki teras yang tidak memiliki atap dan pendopo (pendhapa) yaitu bagian depan rumah yang terbuka dengan empat tiang (saka guru) yang merupakan tempat tuan rumah menyambut dan menerima tamu-tamunya. Bentuk pendopoumumnya persegi, di mana denah berbentuk segi empat selalu diletakkan dengan sisi panjang ke arah kanan-kiri rumah sehingga tidak memanjang ke arah dalam tetapi melebar ke samping (Indrani, 2005: 7).

Pendopopada rumah Jawa terbuka tanpa pembatas pada keempat sisinya, hal ini melambangkan sikap keterbukaan pemilik rumah terhadap siapa saja yang datang. Pendopobiasanya dibangun lebih tinggi dari halaman, ini dimaksudkan untuk memudahkan penghuni menerima tamu, bercakap-cakap sambil duduk bersila di lantai beralas tikar sesuai tradisi masyarakat Jawa yang mencerminkan suasana akrab dan rukun.

Bentuk salah satu ruang dalam rumah tradisi Jawa tersebut memperlihatkan adanya konsep filosofis tentang makna ruang yang dalam dimana keberadaan pendoposebagai perwujudan konsep kerukunan dalam gaya hidup masyarakat Jawa. Pendopotidak hanya sekedar sebuah tempat tetapi mempunyai makna filosofis yang lebih mendalam, yaitu sebagai tempat untuk mengaktualisasi suatu bentuk/konsep kerukunan antara penghuni dengan kerabat dan masyarakat sekitarnya (Hidayatun, 1999:7). Pendopo merupakan aplikasi sebuah ruang publik dalam masyarakat Jawa.

Pringgitan
Ruang yang masih berfungsi sebagai ruang publik adalah ruang peralihan dari pendopomenuju ke dalem ageng disebut pringgitan, yang juga berfungsi sebagai tempat mengadakan pertunjukan wayang kulit pada acara-acara tertentu. Pringgitanmemiliki makna konseptual yaitu tempat untuk memperlihatkan diri sebagai simbolisasi dari pemilik rumah bahwa dirinya hanya merupakan bayang-bayang atau wayang dari Dewi Sri (dewi padi) yang merupakan sumber segala kehidupan, kesuburan, dan kebahagiaan (Hidayatun, 1999:39). Menurut Rahmanu Widayat (2004: 5), pringgitan adalah ruang antara pendhapa dan dalem sebagai tempat untuk pertunjukan wayang (ringgit), yaitu pertunjukan yang berhubungan dengan upacara ruwatan untuk anak sukerta (anak yang menjadi mangsa Bathara Kala, dewa raksasa yang maha hebat).

Dalem Ageng
Semakin masuk ke bagian dalam rumah tradisi Jawa, semakin menunjukkan hirarki dalam pola penataan ruangnya. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, semakin masuk ke bagian belakang ruangan tersebut bersifat khusus (pribadi/privat). Bagian dalam dari rumah tradisi Jawa disebut dalem ageng. Ruangan ini berbentuk persegi yang dikelilingi oleh dinding pada keempat sisinya. Dalem ageng merupakan bagian terpenting dalam rumah tradisi Jawa sebab di dalamya terdapat tiga senthong atau tiga kamar. Tiga senthong tersebut dinamakan senthong kiwa, senthong tengah dan senthong tengen. Senthong tengah dinamakan juga krobongan yaitu tempat untuk menyimpan pusaka dan tempat pemujaan terhadap Dewi Sri. Senthong tengah atau krobongan merupakan tempat paling suci/privat bagi penghuninya. Sedangkan senthong kiwa dan senthong tengen berfungsi sebagai ruang tidur anggota keluarga. Senthong kiwa merupakan ruang tidur anggota keluarga laki-laki dan senthong tengen berfungsi sebagai ruang tidur anggota keluarga perempuan.

1. Pendhapa
2. Pringgitan
3. Dalem
a. Senthong kiwo
b. Senthong tengah
c. Senthong tengen
4. Gandhok dan pawon.

Krobongan
Kepercayaan masyarakat Jawa terhadap Dewi Sri tidak lepas dari kehidupan mereka yang agraris. Dewi Sri merupakan dewi kesuburan yang berperan penting dalam menentukan kesejahteraan masyarakat agraris (para petani). Agar dalam berusaha lancar maka perlu menyediakan tempat yang khusus di rumahnya untuk menghormati Sang Tani. Y.B. Mangunwijaya (1992 : 108) menjelaskan yang dimaksud dengan Sang Tani adalah bukan manusia si petani pemilik rumah, melainkan para dewata, atau tegasnya Dewi Sri.

Di dalam dalem atau krobongan disimpan harta pusaka yang bermakna gaib serta padi hasil panen pertama, Dewi Sri juga dianggap sebagai pemilik dan nyonya rumah yang sebenarnya. Di dalam krobongan terdapat ranjang, kasur, bantal, dan guling, adalah kamar malam pertama bagi para pengantin baru, hal ini dimaknai sebagai peristiwa kosmis penyatuan Dewa Kamajaya dengan Dewi Kama Ratih yakni dewa-dewi cinta asmara perkawinan(Mangunwijaya, 1992: 108). Di dalam rumah tradisi Jawa bangsawan Yogyakarta, senthong tengah atau krobongan berisi bermacam-macam benda-benda lambang (perlengkapan) yang mempunyai kesatuan arti yang sakral (suci). Macam-macam benda lambang itu berbeda dengan benda-benda lambang petani. Namun keduanya mempunyai arti lambang kesuburan, kebahagiaan rumah tangga yang perwujudannya adalah Dewi Sri (Wibowo dkk., 1987 : 63).

Gandhok dan Pawon
Ruangan di bagian belakang dinamakan gandhok yang memanjang di sebelah kiri dan kanan pringgitan dan dalem. Juga terdapat pawon yang berfungsi seagai dapur dan pekiwan sebagai wc/toilet. Ruangan-ruangan tersebut terpisah dari ruangan-ruangan utama, apalagi dari ruangan yang bersifat sakral/suci bagi penghuninya.

Pola organisasi ruang dalam rumah tradisi Jawa dibuat berdasarkan tingkatan atau nilai masing-masing ruang yang terurut mulai dari area publik menuju area private atau sakral. Pembagian ruang simetris dan menganut pola closed ended plan yaitu simetris keseimbangan yang berhenti dalam suatu ruang, yaitu senthong tengah (Indrani, 2005: 11).

Dewi Sri dalam Krobongan Rumah Tradisi Jawa
Dewi Sri sangat akrab dengan masyarakat agraris Jawa. Bagi mereka, Dewi Sri merupakan icon sekaligus tokoh penting yang sangat berperan dalam menentukan hasil panennya nanti. Maka tidak aneh apabila di rumah pribadi mereka, terdapat tempat khusus yang digunakan sebagai tempat pemujaan terhdapa Dewi Sri. Selain itu, Dewi Sri juga dikenal sebagai lambang kesuburan dan kesejahteraan rumah tangga.

Dewi Sri dalam buku Sejarah Wayang Purwa (Hardjowirogo, 1982 : 72) dijelaskan Dewi Sri adalah putri Prabu Srimahapunggung dari negara Medangkamulan. Dewi Sri bersaudara laki-laki yang bernama Raden Sadana.


Gambar 2. Penggambaran Dewi Sri dalam
Wayang Purwa (http://img181.exs.cx/img181/9018/shinta8tl.jpg).

Dewi Sri meninggalkan Medangkamulan untuk menyusul saudaranya yang menolak untuk dikawinkan. Ia mendapat berbagai cobaan dalam perjalanannya. Seorang raksasa terus menggodanya. Setelah itu ia dikutuk menjadi ular sawah oleh ayahnya namun kemudian ia berhasil kembali menjadi Dewi Sri seperti semula. Selama perjalanan, Dewi Sri banyak mendapat pengalaman yang berhubungan dengan pertanian.

Menurut Lombard (1996: 82), walaupun mitos Dewi Sri berasal dari India namun di beberapa pulau di Nusantara yang tidak tersentuh pengaruh India pun mengenal sosok Dewi Sri sebagai Dewi Kesuburan. Ceritanya pun hampir sama, yaitu Dewi Sri yang dikorbankan lalu dari seluruh bagian tubuhnya tumbuh berbagai tanaman budidaya yang utama seperti padi. Mitos tersebut sangat kental dengan pengaruh Hindu. Hal ini bisa saja terjadi akibat adanya asimilasi antara paham animisme dan Hindu. Hasilnya muncul seorang tokoh simbolik kaum petani Jawa, yang melindungi tanaman padinya terhadap gangguan-gangguan hama tanaman padi, yang dianggap berasal dari para lelembut atau jin mrekayangan (Widayat, 2004: 10). Berbagai cerita padi muncul di Jawa sebelum datangnya pengaruh Hindu dan ada kemungkinan cerita tersebut setelah datangnya paham Hindu diubah dan disesuaikan dengan ajaran Hindu.

Penghormatan terhadap Dewi Sri juga dilakukan dalam upacara-upacara adat. Salah satunya adalah upacara bersih desa. Dalam upacara tersebut digelar pertunjukan wayang kulit dengan lakon berjudul Srimantun yang menggambarkan reinkarnasi Dewi Sri sebagai Dewi Kemakmuran dan anugerah dari dewata terhadap negara agar menjadi negara yang mekmur dan sejahtera serta tidak kekuarangan apapun. Untuk upacara bersih desa biasanya dipersembahkan sesajian yang diletakkan di dekat sawah antara lain terdiri atas :
1. Kelapa muda
2. Nasi dan telur ayam (puncak manik )
3. Rujak manis (pisang, asam)
4. Ketupat
5. Lepet
6. Cermin
7. Minyak kelapa
8. Minyak wangi
(Widayat, 2004: 13).

Krobongan sebagai ruangan khusus sebagai bentuk penghormatan terhadap Dewi Sri memiliki makna yang terdapat pada setiap benda yang ada di dalamnya.
a. Padi; Dewi Sri merupakan Dewi Kesuburan dan dilambangkan oleh apdi di dalam krobongan.
b. Patung Loro-Blonyo; patung mempelai pria dan wanita adat Jawa ini diletakkan di depan krobongan yang melambangkan kegahagiaan suami istri dan lambang kesuburan.
c. Pusaka/keris; pusaka/keris yang merupakan benda suci maka akan diletakkan di tempat suci pula seperti krobongan.
d. Kain Cindai/patola India; penutup tempat tidur dan bantal serta guling di dalam krobongan merupakan kain cindai/patola India. Karena memiliki pola yang sarat dengan makna Hindu (pola jlamprang dan cakra-senjata Dewa Wisnu dan delapan tataran yoga)maka kain ini dianggap memiliki kesaktian dan keberadaannya pun dikeramatkan.
e. Hiasan Naga; hiasan naga pada krobongan muncul setelah mendapat pengaruh Hindu. Cerita Amertamanthana (dalam cerita Mahabarata) yang menceritakan sewaktu ular Basuki melilit pada pinggang gunung Mandara yang membantu untuk keluarnya air amerta (abadi) yang dibutuhkan para dewa untuk diminum (Wibowo dkk., 1987 : 157). Sebelum datangnya Hindu ke Nusantara (zaman Neolitikum), dunia dianggap memiliki dua bagian yaitu dunia atas dan dunia bawah yang memiliki sifat-sifat bertentangan. Dunia atas dilambangkan dengan matahari, terang, atas, rajawali, kuda sedangkan dunia bawah dilambangkan dnegan gelap, bumi, bulan, gelap, air, ular, kura-kura, buaya (Soegeng, 1957 : 11). Berdasarkan kepercayaan neolitikum dan cerita Mahabarata, ular selalu dikaitkan dengan air Makna hiasan ular pada krobongan merupakan simbol agar dalam bertani tidak akan kekurangan air (Widayat, 2004: 17).
f. Hiasan Burung Garuda; hiasan garuda pada krobongan merupakan simbol penyeimbang dari hiasan naga atau ular yang melmbangkan dunia bawah, maka garuda melambangkan dunia atas. Selain itu, burung garuda mengingaktkan pada cerita Gurudeya. Burung garuda yang merupakan anak Winata menyelamatkan ibunya dari perbudakan dan menjadikan para dewa tidak mati. Dalam cerita tersebut, burung garuda menjadi sosok pemberantas kejahatan, dan hal inilah yang diharapkan sehingga hiasan burung garuda diletakkan pada krobongan (Widayat, 2004: 17).

Simpulan
Rumah tradisi Jawa memiliki beberapa ruangan yang simetris dan terdapat hirarki ruang di dalamnya. Dari luar terdapat ruang publik yang besifat umum, semakin ke dalam ruangan yang ada bersifat pribadi (private). Bagian luar yang disebut teras merupakan ruangan terbuka tanpa atap. Teras juga merupakan ruang publik sebagai area peralihan dari luar ke dalam rumah.

Ruangan selanjutnya yaitu Pendopo yang masih berfungsi sebagai ruang publik, di ruangan inilah biasanya tuan rumah menerima tamu-tamunya. Pendopo memiliki bentuk ruangan persegi dan memiliki empat tiang (soko guru) yang terdapat di tengah-tengah pendopo. Ruangan ini tidak memiliki pembatas pada keempat sisinya, hal ini melambangkan keterbukaan pemiliknya terhadap siapa saja yang datang. Pendopo menggambarkan gaya hidup masyarakat Jawa yang rukun.

Pringgitan merupakan ruang peralihan antara area publik dan privat, yaitu terletak diantara pendopo dan dalem ageng. Pringgitan juga berfungsi sebagai tempat pertunjukan wayang kulit apabila ada acara khitanan, ruwatan, perkawinan, dsb. Ruangan yang disebut dalem ageng merupakan ruang privat (pribadi), salah satu fungsinya sebagai ruang berkumpulnya seluruh anggota keluarga. Bentuk ruangan ini persegi dengan dilingkupi dinding pada setiap sisinya. Di dalam ruangan dalem ageng terdapat tiga petak ruangan yang berukuran sama besar disebut senthong. Senthong kiwa dan senthong tengen di sisi kanan dan kiri merupakan tempat tidur anggota keluarga pria dan wanita, sedangkan senthong tengah merupakan senthong paling sakral/suci. Senthong tengah atau krobongan merupakan tempat pemujaan kepada Dewi Sri sebagai Dewi Kesuburan dan kebahagiaan rumah tangga. Senthong tengah merupakan area paling privat (pribadi) bagi pemilik rumah tradisi Jawa.

Bagian rumah lain yang bersifat privat adalah gandhok, pawon dan pekiwan. Gandhok merupakan ruangan belakang yang memanjang di sisi dalem ageng dan pringgitan. Sedangkan pawon merupakan bangunan di belakang dalem ageng dan terletak jauh dari tempat paling suci (senthong tengah/krobongan) fungsinya sebagai dapur. Ruangan yang berfungsi sebagai wc adalah pekiwan. Ruangan-ruangan yang dianggap ‘kotor’ ini diletakkan jauh-jauh dari ruangan-ruangan utama sebelumnya, seperti dalem ageng atau krobongan sebagai tempat suci pemujaan Dewi Sri.

Krobongan sebagai tempat suci bagi para penghuni rumah tradisi Jawa erat kaitannya dengan mitos dan kepercayaan masyarakat agraris Jawa terhadap Dewi Sri. Dewi Sri yang melambangkan kesuburan dan kebahagiaan dalam rumah tangga sangat dekat dengan kehidupan masyarakat Jawa. Di ruangan sakral tersebut tersimpan benda-benda pusaka yang dipercaya memiliki kekuatan magis yang juga disertai dengan alat-alat penuh makna mistis yang dikaitkan dengan paham Hindu dan zaman neolitikum. Keberadaan krobongan dalam rumah tardisi Jawa menggambarkan dunia orang Jawa tidak dapat dipisahkan dari pemahaman tentang keseimbangan makrokosmos dan mikrokosmos. Segala sesuatunya selalu dikaitkan dengan kekuatan-kekuatan alam, sesuatu yang metafisik, sebagaimana orang Jawa memahami rumah Jawanya. Keseimbangan kosmologi tersebut dibangun diatas pemahaman yang selalu dalam bentuk dualitas, seperti adanya siang-malam, panas-dingin, utara-selatan, dan laki-laki-perempuan; selain itu juga adanya makna simbolik yang mengacu pada tiga, empat atau lima kutub.

Kepustakaan
Widayat, Rahmanu. 2004. “Krobongan Ruang Sakral Rumah Tradisi Jawa”.
Dimensi Interior, Vol. 2 No. 1, hal. 1-21.
Hedy C. Indrani dan Maria Ernawati Prasodjo. 2005. “Tipologi, Organisasi Ruang, dan Elemen Interior Rumah Abu Han di Surabaya”.
Dimensi Interior, Vol. 3 No.1, hal-44-65.
Muqoffa, Muhammad. 2005. “Mengkonstruksikan Ruang Gender pada Rumah Jawa di Surakarta dalam Perspektif Kiwari Penghuninya”. Dimensi
Interior, Vol. 33 No.2, hal. 87-93.
Hidayatun, Maria I. 1999. “Pendopo dalam Era Modernisasi: Bentuk, Fungsi, dan Makna Pendopo pada Arsitektur Jawa dalam Perubahan Kebudayaan”. Dimensi TeknikArsitektur, 27, hal. 37-46.
Wibowo, HJ. dkk. 1987. Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta,
Yogyakarta : Depdikbud Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
Hardjowirogo. 1982. Sejarah Wayang Purwa, Jakarta : PN. Balai Pustaka.
Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya, Warisan Kerajaan-Kerajaan
Konsentris, Jakarta : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Singh, Lisa. 1988. Patola, Kisah Kasih sehelai Kain, Buku Cindai, Pengembaraan Kain Patola India, Jakarta : Himpunan Wastraprema.
Soegeng. 1957. Sedjarah Kesenian Indonesia , Jakarta : Fasco.

Cri - Ciri Arsitektur Byzantium
Konstruksi Bangunan

Denah:

* segi empat polygonal, yang ditutup dengan atap kubah dan kubah kecil mengelilingi kubah utama, sehingga bentuknya memusat serta simetris.
* sayap pendek yang sama pasa setiap sisinya, mengambi bentuk cross.



Dinding:

* Memakai bahan bata, dan dibagian dalam (interiornya) dilapisi dengan mosaic yang terbuat dari pualam warna-warni yang menggambarkan ajarannya.




Bukaan Pintu dan Jendela:

* Busur ½ lingkaran dipakai untuk menunjang galery dan bukaan pada pintu dan jendela
* Jendela-jendela kecil ½ lingkaran mengelilingi dasar kubah (pendetive)



Atap:

* metode pembuatan atap dari bahan batu ataupun beton
* Kubah dibentuk dengan type - simple (biasa ½ lingkaran)
* melon shaped (kubah belewah)
* compound (majemuk)





Kolom:

* kolom-kolomnya konstruktif, dengan kepala tiang (capital) bergaya Korintia dan Komposit.

Sky Line:

* Secara keseluruhan pandang, gereja izantium merupakan kelompok banyak kubah yang mengelilingi kubah utama secara simetris, sehingga berkesan vertikal.

Karakter Arsitektur

* Gereja Bizantium merupakan bentuk Basilika pada mulanya setelah berkembang membentuk polanya sendiri yaitu pola gereja Byzantium yaitu Kubah Majemuk, kubah Bola serta Denah terpusat. Karena daerah ini berhadapan langsung dengan daerah Asia Kecil, maka pengaruhnya banyak yang masuk antara lain, kubah-kubah untuk menutup denah segi-4 maupun polygonal dari gereja, makam maupun baptistery, hal ini muali dikembangkan pada abad 5.
* Praktek penggunaan kubah, memakai konstruksi atap yang sangat sederhana dengan atap kayu aliran Kristen Lama, maupun atap lengkung aliran Romawi dari batu.
* Sistem konstruksi beton dari Romawi dikembangkan dengan pesat. Kubah yang merupakan ciri dari daerah timur, menjadi model atap Byzantium yang merupakan penggabungan dari Konstruksi kubah dan sudut model Yunani dan Romawi.
* Type-type kubah yang diletakkan diatas denah segi-4 dilengkapi dengan jendela kecil-kecil diatas, disebut Pendetive, dimana pada masa Romawi kubahnya hanya menutup bentuk denah melingkar atau polygonal. Sedangkan bahan pendetive tersebut dipakai bahan bata atau batu apung yang disebut Purnise. Kubah dibuat tanpa menggunakan penunjang sementara (bekisting). Kubah bola utama tersebut melambangkan Surga menurut ajarannya, sedangkan kubah-kubah sudut atau disebut Squinch untuk menggambarkan ajarannya dalam bentuk mosaic antara Bema atau bilik suci dengan Naos atau ruang induk atau nave, dipisahkan oleh Iconostatis atau penyekat, sebagi screen of picture “tirai”.
* Bentuk Eksterior, kadang tidak berhubungan/ tidak ada kesatuan dengan bentuk interiornya.
* Arsitektur Bizantium dibagi dalam 3 periode, yakni periode awal, pertengahan dan akhir.

Seni dan Arsitektur

Salah satu segi terpenting bagi kota baru Konstantinopel adalah kota tersebut bukan merupakan duplikat dari kota Roma yaitu dengan dibangun gereja Kristen pertama Hagia Sophia serta menyelesaikan banyak gereja lainnya.
Seni dekorasi motif Mosaic yang cemerlang dan gemerlapan berkembang pesat. Sedangkan Arsitektur bangunan bersegi banyak dengan atap kubah bermunculan dimanapun, dibukit Yugoslavia, dilembah Rumania digurun Suria Bizantium yang mengembangkan hirarki bentuk semacam itu.
Hasil pembangunan kota Konstantinopel, meliputi banyak bangunan antara lain 2 gedung teatre, 8 pemandian umum, 153 pemandian prbadi, 5 lumbung, 8 akuaduk, 14 gereja, 14 istana dan 4388 rumah tinggal yang cukup besar, dan masih banyak lagi fasilitas umum, misalnya rumah sakit, pasar serta perumahan penduduk yang tidak tercatat kota menampung sekitar 600.000 orang penduduk.

Bizantium adalah pewaris langsung kekaisaran terakhir Romawi dan merupakan bangsa Kristen yang pertama. Orang Bizantium mensistemasikan hukum Romawi dan senatnya juga mencontoh pola senat Romawi, namun masih didukung oleh kaum Biara dan mencari nasehat dibidang politik pada kaum Mistikus.
Tiga aspek kehidupan orang Bizantium yang menonjol adalah keagamaan, intrik kerajaan dan sirkus-sirkus popular yang spektakuler (sulap).
Kehidupan kota dipusatkan disekeliling 3 bangunan penting yaitu kelompok gedung Hypodrom, Istana suci kekaisaran dan Gereja Hagia Sophia, dimana ke 3 bangunan ini mewakili 3 unsur dunia Bizantium yaitu rakyat, kekuasaan kaisar dan agama. Ketiga gedung ini terletak serasi berdekatan serta dihubungkan oleh Mese atau jalan tengah, yaitu suatu jalan yangs selalu dipakai untuk upacara kenegaraan dan keagamaan (jalan protocol menuju ke bangunan penting.

Menara Adopsi Byzantium

Sebuah masjid sepertinya hambar jika tanpa menara. Masjid-masjid jami’ di Indonesia hampir selalu mempunyai menara. Padahal, asal tahu saja, menara bukan unsur arsitektur asli bangunan masjid. Masjid Quba sebagai masjid pertama yang dibangun Nabi pun pada awalnya tak mempunyai menara.

Begitu pula ketika masa Islam dipimpin oleh empat serangkai khalifah al-rasyidin, mulai Abu Bakar hingga Ali bin Abu Thalib: masjid-masjid yang dibangun tak bermenara. Hanya saja ada semacam ruang kecil di puncak teras masjid sebagai tempat muazzin mengumandangkan adzan.

Dalam sejarah arsitektur masjid-masjid pertama, bisa dikatakan Khalifah Al-Walid (705-715) dari Bani Umayyah merupakan khalifah yang pertama kali memasukkan unsur menara dalam arsitektur masjid. Khalifah yang punya selera dan kepedulian tinggi dalam rancang bangun arsitektur inilah yang memulakan tradisi menara sebagai salah satu unsur khas pada masjid.

Tradisi membangun menara diawali oleh Khalifah Al-Walid ketika memugar bekas basilika Santo John (Yahya) menjadi sebuah masjid besar, yang kemudian menjadi Masjid Agung Damaskus. Pada bekas basilika tersebut tadinya terdapat dua buah menara yang berfungsi sebagai penunjuk waktu: lonceng pada siang hari dan kerlipan lampu pada malam hari.

Menara itu sendiri merupakan salah satu ciri khas bangunan Byzantium. Rupanya, Khalifah Al-Walid tertarik untuk mempertahankan kedua menara tersebut. Bahkan, kemudian ia membangun sebuah menara lagi di sisi utara pelataran masjid (tepat di atas Gerbang al-Firdaus). Menara ini disebut Menara Utara Masjid Damaskus. Satu tahun kemudian (706 M), Khalifah Al-Walid memugar Masjid Nabawi di Madinah. Masjid ini tadinya tak mempunyai satu pun menara. Al-Walid lalu memerintahkan para arsiteknya untuk membangunkan menara masjid sebagai tempat muadzin untuk mengumandangkan azan.

Bentuk menara pada Masjid Nabawi dan menara utara Masjid Damaskus sangat mirip, terutama pada ornamen kubah puncak menara yang ramping. Yang jelas, pada saat itu kehadiran menara masjid masih merupakan sesuatu yang baru. Bentuk menara seperti menara Masjid Agung Damaskus cukup populer. Bahkan, hingga 250 tahun kemudian, bentuk menara Masjid Nabawi dan Masjid Agung Damaskus ini juga menjadi model tipikal menara Masjid Al-Azhar yang dibangun oleh Dinasti Fatimiyah di Kairo.

Bentuk - Bentuk Menara

Menara Masjid Quba



Menara Masjid Natanz di Iran.



Menara Masjid Ibnu Tulun di Fustat, Mesir.


Fungsi Menara

Menara masjid selain berfungsi sebagai tempat bagi muadzin mengumandangkan adzan juga bisa berfungsi ganda seperti halnya mercusuar atau menara pengintai. Hal ini terutama terdapat pada menara-menara masjid yang berada di kota pelabuhan atau tepi sungai. Corak menara Masjid Ribbat Shushah di Tunisia, misalnya, terdapat pada bangunan corak masjid yang sangat mirip sebuah markas militer.

Menara berbentuk silinder ini dibuat dengan gaya yang teramat kokoh untuk sebuah menara yang biasanya berbentuk ramping. Ribbat Shushah, sebagai kota pelabuhan, memanfaatkan menara masjid sebagai sarana untuk melakukan pengamatan lepas pantai dari balkon menara.

SIMA DESIGNER

CONTOH DESAIN DARI SIMA DESIGNER ini adalah beberapa contoh desain hasil dari sim designer. project untuk aqiqah Logo Desain ...